Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI WAINGAPU
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
4/Pid.Pra/2023/PN Wgp Tomi Umbu Pura.S.AB Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Cq. Kapolda Nusa Tenggara Timur Cq. Kapolres Sumba Timur, Minutasi
Tanggal Pendaftaran Jumat, 06 Okt. 2023
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 4/Pid.Pra/2023/PN Wgp
Tanggal Surat Jumat, 06 Okt. 2023
Nomor Surat --
Pemohon
NoNama
1Tomi Umbu Pura.S.AB
Termohon
NoNama
1Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Cq. Kapolda Nusa Tenggara Timur Cq. Kapolres Sumba Timur,
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

A.DASAR HUKUM PERMOHONAN.
1.Bahwa dasar hukum praperadilan diatur dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menetapkan “Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
a.Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
b.Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan”;
2.Bahwa selanjutnya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mengeluarkan Putusan Nomor: 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015 dengan amarnya antara lain menyatakan “Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor: 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan”;
3.Bahwa Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 4 Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan menetapkan: “Obyek Praperadilan adalah:
a.Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan;
b.Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan”;

B.OBYEK PERMOHONAN PRAPERADILAN.
1.Bahwa obyek praperadilan yang dimohonkan untuk diperiksa dalam permohonan ini adalah:
a.Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP. Sidik/57/VII/2023/Reskrim, tanggal 28 Juli 2023.
b.Surat Ketetapan Nomor: S.TAP /99/IX/2023/Reskrim tanggal 2 Oktober 2023 Tentang Penetapan Tersangka;
2.Bahwa oleh karena obyek dari permohonan praperadilan ini adalah menyangkut Penetapan Tersangka berdasarkan Surat Ketetapan Nomor: S.TAP /99/IX/2023/Reskrim tanggal 2 Oktober 2023 Tentang Penetapan Tersangka,  maka berdasarkan Pasal 77 Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015 serta Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 4 Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan, termasuk dalam obyek praperadilan yang menjadi kewenangan Pengadilan Negeri Waingapu untuk memeriksa dan mengadilinya.

C.ALASAN-ALASAN PERMOHONAN.
a.TENTANG KRONOLOGIS/FAKTA  PERKARA.
1.Bahwa pada bulan januari 2023 terjadi pencurian 4 unit mesin Motor air yakni 2 unit merek western Elektrik dan dua unit merek elktrim electric motor.
2.Bahwa barang – barang yang di curi ini oleh Baron cs, di mana barang – barang a quo adalah milik  dari PT. MSM.
3.Bahwa setelah di curi barang – barang a quo di taruh di rumah adat, bukan rumah pribadi dari saudara Pemohon  di mana ketika disimpan di rumah tanpa sepengetahuan saudara Pemohon dan saudara Umbu Tay Rawanbaku alias Umbu Andi/ kepala desa/ ketika mau di simpan di rumah adat  Umbu Tay Rawanbaku alias Umbu Andi/ kepala desa sudah menolak saudara Baron untuk menyimpan di rumahnya adat tersebut.
4.Bahwa selama proses Perbuatan melawan Hukum yang di buat oleh sdr. Baron cs, Pemohon sama sekali tidak mengetahui perbuatan tersebut, karena Pemohon tinggal di Kota waingapu bukan di rumah adat tersebut.
5.Bahwa yang anehnya sekalipun Pemohon tidak mengetahui perbuatan Pidana yang di lakukan oleh BARON Cs, namun Termohon telah menetapkan Pemohon sebagai Tersangka sebagaimana Surat Ketetapan Nomor: S.TAP /99/IX/2023/Reskrim tanggal 2 Oktober 2023 Tentang Penetapan Tersangka.
6.Bahwa padahal kita tahu bersama bahwa Hukum Pidana mengatur bahwa TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN (Asas Actus Non Facit Reum, Nisi Mens Sit Rea) ATAU MENURUT DOCTRIN STRICT LIABELITY PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA HARUS DI BERIKAN KEPADA PIHAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA SECARA LANGSUNG.
7.Bahwa Dalam proses hukum terhadap Pemohon juga Termohon tidak melalui mekanisme yang benar karena Pemohon adalah seorang DEWAN PERWAKILAN RAYAT DAERAH SUMBA TIMUR , SEHINGGA SESUAI DENGAN ATURAN WAJIB DI PANGGIL BERBEDA DENGAN SUBJEK UMUM LAINYA, DAN HAL INI AKAN DI PAPARKAN LEBIH LANJUT DALAM MATERI DI BAWAH .
8.Bahwa dalam menetapkan Pemohon sebagai Tersangka juga kelihatan Termohon sangat emosional dimana Penetapan Tersangka atas diri Pemohon TANPA DI LANDASI DUA ALAT BUKTI YANG SAH, ATAU ALAT BUKTI YANG DI GUNAKAN TIDAK TERJADI PERSESUAIAN ANTARA ALAT BUKTI SATU DAN YANG LAINYA, demikian bahwa perbuatan hukum  TERMOHON tidaklah di landasi terhadap fakta perkara Namun hanya dilandasi emosional semata.
9.Bahwa sekalipun dengan  fakta yang sudah jelas dan terang namun Termohon dengan kewenangan yang digunakan dengan tidak prosedural telah menetapkan Pemohon sebagai Tersangka tanpa di landasi Hukum yang jelas serta Alat Bukti yang jelas sebagaimana di atur dalam KUHAP maupun Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015.


b.TENTANG HUKUMNYA.
I.PENYELIDIKAN TIDAK SAH KARENA PROSES PEMANGGILAN DIRI PEMOHON TIDAK LANDASI DENGAN HUKUM.
1.Bahwa Pemohon adalah Dewan Perwakilan  Rayat Daerah Sumba Timur  Periode 2019-2024 dan sementara masih aktif menjabat sehingga proses Hukum terhadap diri Pemohon harus di landasi kepada :
A.Pasal 245 Undang – Undang Republik Indonesia  Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jo Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2018 tentang Perubahan kedua atas Undang – Undang nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah   yang menyatakan bahwa :
Penyidikan
Pasal 245
1)Pemanggilan dan Permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 224 harus mendapatkan persetujuan Tertulis dari presiden setelah mendapatkan pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan.  
2)Ketentuan sebagaimana di maksud pada ayat 1 tidak berlaku apabila anggota DPR :
a)Tertangkap tangan melakukan tindak Pidana
b)Disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang di ancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur Hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan Negara berdasarkan bukti permulaan Yang cukup atau
c)Disangka melakukan tindak pidana khusus.
 
B.Bahwa terhadap Pasal 245 diatas, juga sudah dilakukan uji Materil pada Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan Putusan Nomor : 16/PUU-XV/2018 tertanggal 28 Juni 2018. Dimana pada amar putusan nomor 4 pada kalimat terakhir menyatakan bahwa :   
“Pemanggilan dan Permintaan keterangan kepada anggota DPR yang di duga Melakukan Tindak pidana yang tidak sehubungan dengan Pelaksanaan Tugas sebagaimana di maksud dalam pasal 224 Harus mendapatkan Persetujuan Tertulis dari Presiden .
C.Bahwa lebih lanjut dalam Uji Materil perkara yang lain terhadap pasal yang sama yakni Pasal 245 sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor :  26/ PUU-XIV/2018 Tertanggal 28 juni 2018, dimana dalam pertimbangannya MK menyatakan bahwa :
Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang di duga melakukan Tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari presiden (vide Putusan MK nomor 16 /PUU-XVI/2018 tertanggal 28 Juni 2018).

2.Bahwa memperhatikan uraian di atas jelas bahwa Proses Hukum terhadap Pemohon telah salah penerapan Hukum sehingga harus di Tolak, dan juga adanya indikasi politik dalam penanganan Perkara a quo hanya semata-mata untuk memenjarakan Pemohon oleh karena Pemohon sementara mengikuti  Calon Legislatif.
3.Bahwa kasus Pemohon ini diduga melakukan Pencurian yakni Tindak Pidana Umum, sehingga wajib hukumnya ketentuan– ketentuan diatas harus di patuhi oleh Termohon.
4.Bahwa dengan adanya ketentuan yang di langgar ini Pemohon menduga bahwa adanya ruang Politik yang di pergunakan dalam perkara a quo .
5.Bahwa dengan demikian maka segala Penyelidikan serta Proses Pemanggilan Pemohon sampai dengan Penetapan Pemohon Sebagai Tersangka harus dinyatakan tidak mempunyai Kekuatan Hukum Mengikat dan harus di batalkan demi Hukum .

II.PENETAPAN DIRI PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA TANPA ADANYA SURAT PERINTAH DIMULAINYA PENYIDIKAN (SPDP).
1)Bahwa Pemohon hingga saat Ini tidak pernah mendapatkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan atau SPDP, hal ini menunjukan bahwa Perbuatan Hukum yang di lakukan oleh Termohon telah melanggar asas – asas Hukum yang baik.
2)Bahwa hal ini juga menunjukan adanya itikad buruk dari pada Termohon untuk tidak menyerahkan kepada Pemohon Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan tersebut paling lambat 7 (tujuh) hari setelah tanggal dikeluarkannya SPDP tersebut serta adanya upaya untuk  mengenyampingkan hak-hak Pemohon untuk dapat mempersiapkan bahan-bahan pembelaan dan juga dapat menunjuk penasihat hukum yang akan mendampinginya, sebagaimana telah dipertegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015) yang menyatakan penyampaian Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) tidak hanya diwajibkan terhadap jaksa penuntut umum akan tetapi juga terhadap terlapor dan korban/pelapor dengan waktu paling lambat 7 (tujuh) hari dipandang cukup bagi penyidik untuk mempersiapkan/ menyelesaikan hal tersebut.
3)Adapun alasan MK didasarkan pada pertimbangan bahwa terhadap terlapor yang telah mendapatkan SPDP, maka yang bersangkutan dapat mempersiapkan bahan-bahan pembelaan dan juga dapat menunjuk penasihat hukum yang akan mendampinginya, sedangkan bagi korban/pelapor dapat dijadikan momentum untuk mempersiapkan keterangan atau bukti yang diperlukan dalam pengembangan penyidikan atas laporannya.

III.TERMOHON TIDAK PERNAH DIPERIKSA  SEBAGAI CALON TERSANGKA.
1)Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon tidak pernah diperiksa dalam kedudukannya sebagai calon tersangka, di mana Pemohon hanya di periksa satu kali pada tanggal 14 september 2023 dimana Pemohon telah diundang oleh Termohon guna klarifikasi terhadap adanya Laporan polisi dimaksud,  kemudian setelah di lakukan Klarifikasi Termohon langsung menetapkan Termohon sebagai Tersangka tanpa melewati Pemeriksaan sebagai Calon Tersangka ;
2)Bahwa tindakan Termohon sebagaimana yang disebutkan di atas telah menyalahi Pasal 11 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, yang menyebutkan:
Pasal 11 :
(1)Kegiatan penyelidikan dilakukan:
a.Sebelum adanya laporan polisi/pengaduan, dan
b.Sesudah adanya laporan polisi/pengaduan atau dalam rangka penyidikan
(2)Kegiatan penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan untuk mencari dan menemukan tindak pidana;
(3)Kegiatan penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, merupakan bagian atau salah satu cara dalam melakukan penyelidikan untuk:
a.Menentukan suatu peristiwa yang terjadi merupakan tindak pidana atau bukan;
b.Membuat terang suatu perkara sampai dengan menentukan pelakunya;
c.Dijadikan sebagai dasar melakukan upaya paksa;
3)Bahwa pada pasal 12 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana  menyebutkan:

Pasal 12  :
(1) Kegiatan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 meliputi:
a. pengolahan TKP;
b. pengamatan (observasi);
c. wawancara (interview);
d. pembuntutan (surveillance);
e. penyamaran (under cover);
f. pelacakan (tracking); dan
g. penelitian dan analisis dokumen.  
(2) Sasaran penyelidikan meliputi:
a. orang;
b. benda atau barang;
c. tempat;
d. peristiwa/kejadian; dan
e. kegiatan.
4)Bahwa pemeriksaan Pemohon sebagai calon tersangka sangat diperlukan karena dugaan tindak pidana yang disangkakan kepada Pemohon adalah bersumber dari sebuah laporan polisi yang merupakan delik aduan, bukan merupakan perbuatan yang tertangkap tangan atau Operasi Tangkap Tangan (OTT);
5)Bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, dan berdasarkan Pasal 1 angka 5 dan Pasal 1 angka 2, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014 dan juga Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyelidikan Tindak Pidana, adalah sangat jelas tindakan Termohon dengan atau tanpa pemeriksaan sebagai Calon Tersangka, merupakan tindakan yang tidak sah. Sehingga Surat Ketetapan Nomor: S.TAP /99/IX/2023/Reskrim tanggal 2 Oktober 2023 Tentang Penetapan Tersangka adalah tidak sah dan batal demi hukum.

IV.PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA TANPA DILANDASI DENGAN 2 (DUA) ALAT BUKTI YANG SAH.
1)Bahwa penetapan seseorang sebagai Tersangka yang disangka melakukan tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur Pasal 363 Ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-2 KUHP, haruslah didasarkan atau didahului adanya“bukti permulaan” atau “bukti permulaan yang cukup” atau “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal  1 angka 2 dan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 angka 2 KUHAP menetapkan “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Demikian pula Pasal 1 angka 14 KUHAP menetapkan “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”;
2)Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 Oktober 2014, halaman 98 menyatakan “bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP haruslah ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya kecuali terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia). Hal ini berarti terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya tersebut, tidak diperlukan pemeriksaan calon tersangka. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan pemeriksaan tersangka disamping dua alat bukti tersebut adalah untuk tujuan transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang, agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka sudah dapat memberikan keterangan yang seimbang dengan minimum dua alat bukti yang telah ditemukan oleh penyidik. Dengan demikian, berdasarkan alasan tersebut di atas, seorang penyidik dalam menentukan “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, “bukti yang cukup” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP dapat dihindari adanya tindakan sewenang-wenang, terlebih lagi dalam menentukan bukti permulaan yang cukup selalu dipergunakan untuk pintu masuk bagi seorang penyidik dalam menentukan seseorang sebagai Tersangka;
3)Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 Oktober 2014 hanya memberikan makna terhadap “bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, bukti yang cukup” artinya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya kecuali terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia). Namun Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maupun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP tidak memberikan penjelasan tentang apakah sekurang-kurangnya terdapat 2 (dua) alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP dapat dimaknai berkaitan dengan jumlah (kuantitas) alat bukti saja ataukah juga menyangkut penilaian terhadap kualitas atau relevansi 2 (dua) alat bukti dimaksud dengan unsur-unsur tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka;
4)Bahwa oleh karena itu, untuk memaknai sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP hanya berkaitan dengan penilaian jumlah (kuantitas) ataukah juga berkaitan dengan penilaian terhadap kualitas atau relevansi 2 (dua) alat bukti dengan unsur-unsur tindak pidana yang disangkakan kepada Tersangka, haruslah dicari penjelasannya dalam doktrin dan putusan-putusan pengadilan. Menurut Dr. Chairul Huda, SH.,MH, “Mahkamah Konstitusi memperketat persyaratan yang harus dipenuhi penyidik untuk melakukan penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan dengan mengurangi acuan yang mungkin digunakan oleh penyidik untuk melakukan hal itu, sehingga hal ini hanya berkorelasi dengan alat bukti yang menjadi acuan bagi hakim menyatakan seseorang bersalah melakukan tindak pidana. Namun demikian, pada sisi lain Mahkamah Konstitusi juga menentukan bahwa mekanisme pengendalian terhadap kewenangan penyidik dalam rangka mencari dan mengumpulkan bukti guna membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya, termasuk dalam menggunakan kewenangannya melakukan penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan tidak sepenuhnya berada dalam kendali penuntut umum, tetapi juga dalam kendali pengadilan, melalui hakim praperadilan”. Lebih lanjut ahli hukum pidana ini mengatakan “penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan harus didasarkan sekurang-kurangnya pada keterangan saksi dan surat atau keterangan saksi dan keterangan ahli atau adanya surat dan keterangan ahli. Bukti atau bukti permulaan atau alat bukti untuk dapat digunakan dalam penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan harus diperoleh menurut cara yang ditentukan dalam undang-undang.     
5)Bahwa sedangkan berkaitan dengan kualitas atau relevansi bukti permulaan sebagai dasar penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan, Dr. Chairul Huda, SH.,MH mengatakan “…….dalam tataran penyidikan, penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan hanya dapat dilakukan jika secara substansial hasil penyidikan menunjukan adanya korelasi antara bukti dan bukti permulaan yang ada dengan tindak pidana yang dipersangkakan atau keadaan dimana seseorang diduga keras melakukan tindak pidana”.        
6)Bahwa konstruksi tentang relevansi antara keterangan saksi dengan perkara yang sedang diproses dalam penyidikan menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 65/PUU-VIII/2010, tanggal 08 Agustus 2011 tersebut, berlaku juga bagi bukti permulaan yang lain. Hal ini berarti tidak sekadar terdapat surat yang telah disita yang diperlukan untuk pembuktian tentang suatu sangkaan tindak pidana sehingga seseorang diduga keras melakukannya, tetapi secara substansial terdapat korelasi dengan unsur-unsur dari tindak pidana tersebut. Demikian pula halnya, keterangan ahli bukan semata-mata menyimpulkan tentang terjadinya suatu perbuatan atau adanya suatu keadaan, tetapi perbuatan dan keadaan itu berkorelasi dengan unsur-unsur dari tindak pidana yang dipersangkakan kepada tersangka;    
7)Lebih lanjut telah jelas bahwa Penetapan Pemohon sebagai Tersangka hanya di dasarkan pada Keterangan satu orang saksi yakni Saksi Baron, sehingga sesuai dengan asas Hukum bahwa satu saksi bukan saksi / Unus Testis Nulus Testis , maka penetapan Tersangka terhadap diri pemohon harus di Tolak dan di kesampingkan . atau di nyatakan batal demi Hukum .
8)Bahwa dengan demikian sangat jelas tindakan Termohon menetapkan  Pemohon sebagai Tersangka tidak didasari bukti permulaan atau alat bukti yang cukup dan relevan dengan unsur-unsur tindak pidana yang disangkakan kepada Pemohon. Sebaliknya bukti yang dimiliki Termohon hanyalah alat bukti yang berupa keterangan saksi dan surat-surat yang tidak memiliki relevansi dengan unsur-unsur tindak pidana yang disangkakan kepada Pemohon, sehingga tidak memenuhi syarat bukti permulaan yang cukup sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: Nomor: 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 Oktober 2014, karena itu penetapan tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon tersebut mohon dinyatakan tidak sah dan dibatalkan demi hukum.
9)Bahwa akibat tindakan Termohon yang tidak procedural dan terkandung juga sikap yang sewenang-wenang maka segala tindakan dan langkah-langkah penyelidikan dan penyidikan yang telah dilakukan oleh Termohon harus dianggap batal demi hukum.

D.PENUTUP.        
Berdasarkan fakta dan alasan-alasan yuridis sebagaimana diuraikan diatas, maka melalui permohonan ini, Pemohon memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Waingapu dan/atau Hakim Tungggal yang ditetapkan memeriksa dan mengadili permohonan praperadilan ini, agar berkenan menjatuhkan putusan yang amarnya, sebagai berikut:
1.Mengabulkan permohonan praperadilan pemohon untuk seluruhnya;
2.Menyatakan hukum bahwa Panggilan Terhadap diri pemohon tanpa di landasi pasal 245 Undang – Undang Republik Indonesia  Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jo Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2018 tentang Perubahan kedua atas Undang – Undang nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jo Putusan MK Nomor : 16/ PUU-XV/2018 tertanggal 28 Juni 2018 Jo putusan MK  Nomor :  26/ PUU-XIV/2018  tertanggal 28 juni 2018, Adalah Tidak SAH  dan Tidak mempunyai Kekuatan Hukum Mengikat.
3.Menyatakan Hukum bahwa Penyelidikan atas diri pemohon Tidak Sah dan Tidak Mempunyai Kekuatan Hukum mengikat.  
4.Menyatakan Hukum bahwa Penetapan diri pemohon tanpa dilandasi 2 (Dua) Alat Bukti yang cukup.
5.Menyatakan hukum bahwa Penetapan Pemohon (TOMI UMBU PURA alias UMBU TOMI  sebagai Tersangka berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP.Sidik/57/VII/2023/Reskrim, tanggal 28 Juli 2023 adalah tidak sah dan tidak berdasarkan hukum karenanya tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat;
6.Menyatakan Hukum bahwa Surat Ketetapan Nomor: S.TAP /99/IX/2023/Reskrim tanggal 2 Oktober 2023 Tentang Penetapan Tersangka adalah tidak sah dan tidak berdasarkan hukum karenanya tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat;
7.Menyatakan hukum bahwa segala hasil penyidikan yang dilakukan oleh Termohon terhadap Pemohon terkait dugaan tindak pidana a quo adalah tidak sah dan tidak berdasarkan hukum karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
8.Menyatakan hukum bahwa Penetapan Tersangka atas diri Pemohon yang dilakukan oleh Termohon adalah tidak sah dan batal atau dibatalkan demi hukum;
9.Menyatakan bahwa Alat Bukti yang di pakai oleh Termohon untuk menetapkan Pemohon sebagai tersangka adalah tidak sah dan tidak dapat dipergunakan lagi.
10.Memerintahkan kepada Termohon untuk segera menerbitkan Surat   Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap diri Pemohon;
11.Menyatakan tidak sah segala putusan atau penetapan yang dikeluarkan oleh Termohon yang berkaitan dengan penetapan Tersangka terhadap diri  Pemohon dan yang sifatnya merugikan Pemohon;
12.Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan, harkat serta martabatnya;
Atau mohon putusan yang seadil-adilnya.

Demikianlah permohonan ini, kami ajukan dan atas segala pertimbangan hukumnya tidak lupa kami ucapkan limpah terima kasih.

 

Pihak Dipublikasikan Ya