Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI WAINGAPU
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
2/Pid.Pra/2023/PN Wgp Fernandus Tamu Ama Kepala Kepolisian Republik Indonesia c.q. Kepala Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur c.q. Kepala Kepolisian Resor Sumba Timur Minutasi
Tanggal Pendaftaran Rabu, 05 Apr. 2023
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 2/Pid.Pra/2023/PN Wgp
Tanggal Surat Rabu, 05 Apr. 2023
Nomor Surat -----
Pemohon
NoNama
1Fernandus Tamu Ama
Termohon
NoNama
1Kepala Kepolisian Republik Indonesia c.q. Kepala Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur c.q. Kepala Kepolisian Resor Sumba Timur
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Berdasarkan surat kuasa khusus yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Waingapu dengan Nomer 02/ADV-PW&R/SK.PRA/PDN/2023 ,pada tangga 5.April 2023, yang dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Pemohon yang bernama :
1.Nama            : Fernandus Tamu Ama
Tempat/tanggal Lahir    : 16 Juni 2003
Agama            : Kristen
Jenis Kelamin        : Laki-Laki
Kewarganegaraan        : WNI
Pekerjaan            : Pelajar SMA Kelas 2 ( dua )
Alamat Pemohon        : Desa Haikatapu, Kecamatan Rindi kabupaten Sumba
                  Timur, Prov NTT.
Yang selanjutnya dalam hal ini disebut sebagai ……………………………………….PEMOHON
Dengan ini mengajukan Permohonan Praperadilan lawan :
1.Kepolisian Negara Republik Indonesia Cq. Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur , Cq Kepolisian Resort Sumba-Timur Cq Satreskrim Polres Sumba Timur yang beralamat di Jl. R Suprapto No 33, Kelurahan Prailiu, kec Kambera, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur . Selanjutnya disebut sebagai…………………………………………………………..……..TERMOHON I
2.Kepolisian Sektor Rindi Cq Kanit Reskrim Polsek Rindi yang beralamat di Jl. Mangili Waingapu , Desa Tana raing, kec rindi Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Tim. 87181 selanjutnya disebut sebagai…………………………………………………………………………TERMOHON II
Yang selanjutnya dalam hal ini disebut sebagai ………..……………..Para TERMOHON
untuk mengajukan Permohonan Praperadilan terhadap Penetapan Pemohon sebagai tersangka dalam dugaan Perkara Tindak Pidana “ SETIAP ORANG DENGAN SENGAJA MELAKUKAN TIPU MUSLIHAT, SERANGKAIAN KEBOHONGAN ATAU MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN DENGANNYA ATAU DENGAN ORANG LAIN “ yang dilaksanakan oleh Termohon sebagaimana diatur didalam pasal 81 ayat (2) Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan PERPU No.1 Tahun 2016 Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Adapun yang menjadi alasan permohonan pemohon adalah sebagai berikut :
I.DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
a.Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
b.Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
1)Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
2)Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
3)Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”
c.Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
1.sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
2.ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
d.Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.
e.Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :
1)Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011
2)Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012
3)Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/2012/Pn.Jkt.Sel tanggal 27 november 2012
4)Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015
5)Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015
6)Dan lain sebagainya
f.Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :
Mengadili,
Menyatakan :
1)Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
•[dst]
•[dst]
•Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
g.Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.
ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
•PEMOHON TIDAK PERNAH DIPERIKSA SEBAGAI CALON TERSANGKA
1.Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
2.Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti.
3.“Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia),”
4.Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka  untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu.
5.Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon tidak pernah dilakukan Pemeriksaan dalam kapasitas Pemohon sebagai calon tersangka. tidak pernah membuktikan Pemohon diperiksa sebagai calon tersangka, akan tetapi Pemohon langsung dipanggil sebagai Tersangka oleh Termohon II  sehingga tidak dengan seimbang Pemohon dapat melakukan klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan kepada Pemohon. Pemohon hanya diperiksa untuk pertama kali oleh Termohon pada pada saat setelah ditetapkan sebagai Tersangka yakni pada tanggal 27 Februari 2023.
6.Untuk itu berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya. Tidak pernah dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon. Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya.
7.Dengan demikian jelas tindakan Termohon dengan atau tanpa pemeriksaan calon tersangka merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang penetapan tersangka terhadap diri Pemohon oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo.
•TIDAK PERNAH ADA PENYELIDIKAN ATAS DIRI PEMOHON
1.Bahwa sebagaimana diakui baik oleh Pemohon maupun Para Termohon, bahwa penetapan tersangka atas diri Pemohon baru diketahui oleh Pemohon berdasarkan panggilan yang tidak sah pada tanggal 27 Februari 2023 sebagai Tersangka oleh Termohon II  kepada Pemohon ketika Pemohon ditahan dengan Nomor Surat Perintah Penangkapan Nomor : Sp-Kap/18/II/2023/Reskrim tanggal 27 Maret 2023 dan Surat Perintah Penahanan Nomor : Sp-Han/19/II/2023. Bahwa apabila mengacu kepada surat penangkapan tersebut, tidak pernah ada surat perintah penyelidikan kepada Pemohon. Padahal sesuai Pasal 1 angka 1 dan 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Polisi memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan.
2.Bahwa hal itu senada dengan penyelidikan dan penyidikan, menurut Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 101), menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, “penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.
3.Lebih lanjut, Yahya Harahap menyatakan bahwa jadi sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindak pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.
4.Yahya Harahap (Ibid, hal. 102) juga mengatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan atas perkara orang lain tidak dapat langsung dipakai pada penyelidikan atas nama Pemohon.
5.Dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat diatas, kegiatan penyelidikan dan penyidikan merupakan 2 hal yang tidak dapat berdiri sendiri dan dapat dipisahkan keduanya. Berkenaan dengan Pemohon dengan tidak pernah diterbitkannya surat perintah penyelidikan dan surat perintah penyidikan atas diri pemohon, maka dapat dikatakan penetapan tersangka dengan atau tanpat surat perintah penyelidikan / Penyidikan dapat dikatakan tidak sah dan cacat hukum, untuk itu harus dibatalkan.
•PENYIDIKAN YANG TIDAK SAH dan tidak  SESUAI DENGAN PROSEDUR KUHAP ( Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ).
Bahwa Termohon II selaku penyelidik sat Reskrim Polsek rendi polres Sumba Timur telah mengabaikan proses Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana berdasarkan surat Sp-Kap/18/II/2023/Reskrim tanggal 27 Maret 2023 dan Surat Perintah Penahanan Nomor : Sp-Han/19/II/2023 yang diterbitkan ( dikeluarkan ) oleh Termohon I , dimana dapat kuasa Hukum Pemohon jelaskan sebagai berikut;
I.Bahwa pemohon Fernandus Tamu Ama belum pernah diperiksa secara patut sebagai Terlapor dalam perkara aquo, dimana Pemohon belum pernah mendapatkan surat panggilan secara sah sebagai Terlapor untuk diperiksa terkait dengan  Nomer LP/03/III/2023/NTT/Res.ST/Sek.Rindi,Polres Sumba Timur.
II.Bahwa penyelidikan yang dilakukan oleh Termohon II penyelidik Polsek Rendi An Aiptu I Nengah Astawa adalah penyelidikan yang dilakukan dengan cara yang tidak mengedepankan hak asasi manusia karena sudah melakukan penyelidikan abal-abal dimana Pemohon dapat menjelaskan sebagai berikut ; bahwa Pemohon sebagai Terlapor yang dalam hal ini sebagai tersangka harusnya diperiksa terlebih dahulu sesuai dengan prosedur Hukum acara pidana, dalam hal ini terlebih dahulu Pemohon sebagai Terlapor yang saat ini menjadi tersangka seharusnya secara resmi dipanggil untuk diperiksa dan didengar keterangannya sebagai saksi dalam perkara aquo berdasarkan surat panggilan yang sah sebagaimana diatur didalam pasal 112 Kuhpidana, namun apa yang dilakukan Termohon II Aiptu I Nengah Astawa tidak pernah melakukan panggilan secara patut pada Pemohon, malah hak-hak hukum daripada Pemohon diabaikan, dimana Termohon II Aiptu I Nengah Astawa tidak pernah melakukan panggilan resmi, namun dengan arogansi kekuasaannya sebagai penyelidik dalam perkara aquo Pemohon dipanggil-panggil begitu saja tanpa mengedepan hak-hak hukum daripada Pemohon, bahkan yang lebih mengejutkan lagi penyelidikan yang dilakukan oleh Termohon II Aiptu I Nengah Astawa dari Tahun 2022 tidak pernah ada Surat Perintah Penyidikan, disini telah jelas bahwa segala sesuatu atau tindakan hukum Penyelidikan yang dilakukan oleh Termohon II penyelidik Aiptu I Nengah Astawa adalah pelanggaran hukum yang nyata dan sangat berdampak pada proses penegakkan hukum Yang ada di Indonesia dan sangat menciderai rasa keadilan terhadap Pemohon.
III.Bahwa perlu Pemohon tegaskan bahwa pada tanggal 27 Februari 2023 Pemohon kembali dipanggil secara tidak patut oleh Termohon II Aiptu I Nengah Astawa ke Mapolres Sumba-Timur, dengan itikad baik Pemohon pergi kepolres Sumba Timur, sesampainya disana Pemohon tidak dijelaskan terkait perkara apa Pemohon dipanggil, padahal Pemohon sudah berulang-ulang kali bertanya kepada Termohon II Aiptu Nengah namun tidak diberikan jawaban yang jelas, dan anehnya tibah-tibah Pemohon langsung ditahan dipolres Sumba Timur oleh Termohon II dan setelah beberapa hari kemudian barulah Pemohon diberikan Surat Perintah Penangkapan Nomor : Sp-Kap/18/II/2023/Reskrim tanggal 27 Maret 2023 dan Surat Perintah Penahanan Nomor : Sp-Han/19/II/2023 dimana surat tersebut ditandatangani oleh TERMOHON I selaku Kasat Reskrim Polres Sumba Timur, tentunya hal ini membuat keluarga dan kuasa hukum Pemohon Kaget dan merasah bingung terkait permasalahan apa atau tindak pidana apa pemohon ditahan karena tidak dijelaskan oleh Termohon saat itu.
IV.Bahwa oleh karena diri Pemohon langsung ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan berdasarkan Surat Perintah Penangkapan Nomor : Sp-Kap/18/II/2023/Reskrim tanggal 27 Maret 2023 dan Surat Perintah Penahanan Nomor : Sp-Han/19/II/2023 yang diterbitkan oleh Termohon I, tanpa melalui mekanisme Hukum acara pidana yang berlaku diindonesia dengan tidak pernah diperiksa diri pemohon sebagai Terlapor dalam perkara aquo secara patut maka sudah sepantasnya Surat Perintah Penangkapan Nomor : Sp-Kap/18/II/2023/Reskrim tanggal 27 Maret 2023 dan Surat Perintah Penahanan Nomor : Sp-Han/19/II/2023 yang diterbitkan oleh Termohon I tidak sah dan batal demi hukum karena tidak pernah ada surat panggilan yang sah dan surat perintah penyidikan atau spdp yang diterima pemohon, keluarga atau kuasa hukumnya guna kepentingan pembelaan diri sebagaimana dijamin oleh konstitusi.
•PARA TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA.
Bahwa Termohon I telah keliru dengan mengeluarkan surat Perintah Penangkapan Nomor : Sp-Kap/18/II/2023/Reskrim tanggal 27 Maret 2023 dan Surat Perintah Penahanan Nomor : Sp-Han/19/II/2023 karena faktanya hasil penyelidikan yang dilaporkan oleh Termohon II tersebut adalah patut diduga adalah hasil penyelidikan abal-abal atau tidak prosedural, bagaimana mungkin hasil penyelidikan oleh Termohon II dapat digunakan dasar untuk melakukan Penangkapan, Penetapan Tersangka dan penahanan terhadap diri Pemohon oleh Termohon I. Dan bagaimana mungkin suat perintah penangkapan dan surat perintah penahanan mendahului surat perintah penyidikan.
Bahwa dalam hal melakukan penyidikan terhadap diri Pemohon ( Alat bukti saksi yang digunakan Termohon II untuk menetapkan tersangka adalah alat bukti keterangan saksi korban dan alat bukti surat yang mana proses penyidikannya dilakukan tidak sesuai dengan prosedur hukum acara pidana di Indonesia ( Penyidikan abal-abal ).
Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti. “Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia),”Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka  untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu.
Bahwa sebagaimana diketahui penetapan tersangka terhadap Pemohon berdasarkan dua alat bukti menurut Termohon I dari hasil penyelidikan Termohon II, yang pertama terkait dengan alat bukti saksi yaitui korban Rambu dan keterangan alat bukti surat hasil lab
Terkait dengan keterangan alat bukti saksi korban yang memberikan keterangan bahwa korban telah ditiduri oleh 3 orang laki-laki sebagai berikut vide bukti surat P... ;
1.Erwin
2.Reksi
3.Fernandus Tamu Amu
Bahwa menurut keteranagan saksi Korban Pemohon adalah Laki-laki ke tiga yang meniduri saksi korban, maka kesimpulannya keterangan saksi korban, Pemohon lah yang telah menghamili saksi korban, padahal faktanya saksi korban telah mengakui bahwa adanya 3 ( Tiga ) orang laki-laki yang meniduri saksi korban, namun Kedua orang laki-laki tersebut tidak pernah dipanggil dan diperiksa secara sah dan patut oleh Termohon II, dari sinilah pemohon beserta kuasa hukumnya merasah raguh dan khawatir dengan alat bukti Keterangan saksi korban yang digunakan Termohon I dan II, dalam hal ini Termohon II sebagai penyelidik untuk menetapkan Pemohon sebagai Tersangka, dikarenakan Termohon II Aiptu I Nengah Astawa telah melakukan penyidikan yang tidak sesuai prosedur ditambah lagi penyidikan tersebut tidak optimal, dan mengesampingkan hak asasi manusia.
Bahwa oleh karena tindakan Termohon II Aiptu I Nengah Astawa yang telah melakukan penyidikan tidak berdasarkan prosedur hukum acara pidana dan tidak optimal dengan tidak memeriksa dua orang laki-laki yang pernah meniduri saksi korban, tentunya Pemohon sangat keberatan dengan hal tersebut, apalagi Pemohon sama sekali tidak pernah berhubungan badan dengan saksi korban, jangankan berhubungan badan, berpacaran atau cinta monyetpun sama sekali tidak pernah, lantas darimana diri Pemohon bisah dikatakan sebagai pelaku tindak pidana persetebuhun terhadap diri korban, oleh karena itu pemohon dan kuasa hukum sangat keberatan dengan keterangan saksi korban apalagi keterangan saksi korban hanya berdiri sendiri karena sebagaimana kita ketahui bersama satu saksi bukan lah saksi kecuali dapat dibuktikan dengan alat bukti lain yang bersesuaian.
Bahwa pemohon dan kuasa hukumnya sangat keberatan terkait dengan alat bukti surat ( hasil lab ) tersebut, dikarenakan penyidikan yang dilakukan oleh Termohon II Aiptu I Nengah Astawa untuk mendapatkan alat bukti surat tersebut tidak berdasarkan surat perintah penyidikan untuk memeriksa perkara aquo, jadi wajar dan sangat disayangkan tindakan Termohon II tersebut Aiptu I Nengah Astawa sudah sangat menyelahi hukum acara pidana ( Cacat Formil ) bagaimana bisah alat bukti surat tersebut digunakan sebagai alat bukti untuk menjerat pelaku, oleh karenanya alat bukti tersebut cacat demi hukum.
Bahwa tindakan penyidikan tersebut yang dilakukan oleh Termohon II selaku Kanit Reskrim Polsek Rindi Aiptu I Nengah Astawa sudah diakui kebenarannya dan mengakui adanya kesalahan dimana dalam hal melakukan Penyidikan terhadap perkara aquo Termohon II tidak pernah melakukan panggilan resmi secara sah berdasarkan pasal 112 Kuhpidana terhadap diri Pemohon, dan Termohon II sudah melakukan klarifikasi ,memintah maaf pada kuasa hukum Pemohon agar memaafkan perbuatannya dan mentolerir adanya perbuatan melanggar hukum dilakukan olehnya, tentunya sebagai kuasa hukum dari diri Pemohon tidak menerima hal tersebut dan langkah yang diambil adalah Praperadilan guna mendapatkan kepastian hukum terhadap diri pemohon dan menjaga hukum ini tidak dilakukan sewenang-wenang oleh anggota penyelidik atau oknum-oknum tertentu dalam hal ini Termohon II dan I.
Untuk itu berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini Kapolres Sumba Timur cq Sat Reskrim polres Sumba Timur Cq PPA Sumba Timur. Cq Sat reskrim Polsek Rindi Dengan demikian jelas tindakan Termohon adalah pelanggaran terhadap undang-undang  dan terlalu terburu-buru dalam menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka,dengan atau tanpa pemeriksaan calon tersangka merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang penetapan tersangka terhadap diri Pemohon oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara A quo.
Bahwa berdasar pada argument-argument sebelumnya, maka Pemohon ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan Tindak Pidana Persetubuhan oleh Penyidik Satreskrim Polres Sumba Timur Cq Unit PPA Cq Sat Reskrim Polsek Rindi kepada Pemohon, mengingat dalam pemeriksaan oleh Termohon II, Termohon II Telah melanggar prosedur hukum acara pidana dengan tidak pernah diperiksanya pemohon sebagai Terlapor dalam perkara aquo secara Sah. Dan dengan alat bukti yang Keterangan saksi yang tidak relevan dan optimal dalam melakukan penyidikan yang mengesampingkan hukum formil ( administrasi penyidikan ) hal ini membuat Pemohon sangat keberatan terhadap alat bukti tersebut yang digunakan oleh para Termohon.
Berdasarkan pada uraian diatas, maka tindakan Termohon I dan II yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum. Wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :
-Ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
-Dibuat sesuai prosedur; dan
-Substansi yang sesuai dengan objek Keputusan
Bahwa sebagaimana telah Pemohon uraikan diatas, bahwa Penetapan tersangka Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku.
1)Apabila sesuai dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan A Quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut :
“Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah”
Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan
2)Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon I dan II kepada diri Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka kami mohon dengan sangat yang mulia hakim Tunggal pada Pengadilan Negeri waingapu yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.
2)Bahwa sampai dengan saat ini ketika Pemohon ditahan, keluarga atau kuasa hukum pemohon belum mendapatkan Surat Perintah dimulainya Penyidikan padahal jelas berdasarkan pasal 109 KUHAP Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 dan  perkap no 6 tahun 2019.namun hal ini dilanggar oleh penyidik. Dikarenakan SPDP tersebut dikirimkan kepada penuntut umum, pelapor/korban, dan terlapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah


diterbitkan Sprindik sebagaimana ketentuan dalam Pasal 14 ayat (1) Perkap 6/2019.dan dapat dijelaskan sebagai berikut :
a)Merujuk Pasal 109 ayat (1) KUHAP, telah ditegaskan bahwa TERMOHON memiliki KEWAJIBAN untuk memberitahukan kepada Penuntut Umum tentang telah dimulainya Penyidikan Perkara Persetubuhan. Sedangkan mengenai waktu pelaksanaan pemberitahuan tersebut, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan waktu pelaksanaan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari, hal ini sebagaimana yang sudah ditegaskan dalam pertimbangan hukum pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 130/PUU-XII/2015, yakni:“… bahwa pemberian SPDP tidak hanya diwajibkan terhadap jaksa penuntut umum akan tetapi juga terhadap terlapor dan korban/pelapor. Alasan Mahkamah tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa terhadap terlapor yang telah mendapatkan SPDP, maka yang bersangkutan dapat mempersiapkan bahan-bahan pembelaan dan juga dapat menunjuk penasihat hukum yang akan mendampinginya, sedangkan bagi korban/pelapor dapat dijadikan momentum untuk mempersiapkan keterangan atau bukti yang diperlukan dalam pengembangan penyidikan atas laporannya.Berdasarkan pertimbangan tersebut menurut Mahkamah dalil permohonan para pemohon bahwa SPDP tersebut bersifat wajib adalah beralasan menurut hukum. Sifat wajib tersebut bukan hanya dalam kaitannya dengan terlapor dan korban/pelapor. Adapun tentang Batasan waktunya, Mahkamah mempertimbangkan bahwa paling lambat 7 (tujuh) hari dipandang cukup bagi penyidik untuk mempersiapkan/menyelesaikan hal tersebut”;
b)Pertimbangan hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, telah dikuatkan dengan Pasal 14 ayat (1) Perkap Polri 6/2019, yang menyatakan:“SPDP sebagaimana dimaksud Pasal 13 ayat (3), dikirimkan kepada penuntut umum, pelapor/korban, dan terlapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan”;Berdasarkan ketentuan hukum tersebut, faktanya TERMOHON lalai melaksanakan kewajiban menyampaikan SPDP kepada PEMOHON dengan batas waktu yang telah ditentukan menurut peraturan-peraturan hukum acara tersebut, in casu pelaksanaan Penyidikan Perkara aquo oleh TERMOHON dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan diantaranya:
•TIDAK PERNAH TERBIT SURAT PERINTAH PENYIDIKAN  pada Tahun 2022 YANG DITERIMA PEMOHON , yang ada hanyalah Surat Perintah Penangkapan Nomor : Sp-Kap/18/II/2023/Reskrim tanggal 27 Maret 2023 dan Surat Perintah Penahanan Nomor : Sp-Han/19/II/2023
c)Dengan tidak dipenuhinya kewajiban para TERMOHON I dan II kepada PEMOHON dalam Penyidikan Perkara aquo sebagaimana Pasal 109 ayat (1) KUHAP, juncto Pasal 14 Perkap Polri 6/2019, juncto       Putusan
d) Mahkamah Konstitusi Nomor: 130/PUU-XII/2015, maka cukup beralasan untuk Hakim Yang Mulia yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara a quo menyatakan PENETAPAN TERSANGKA PEMOHON  DALAM PENYIDIKAN PERKARA A QUO ADALAH TIDAK SAH DAN TIDAK MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM MENGIKAT;
•ANALISA YURIDIS
Bahwa tindakan Penangkapan oleh TERMOHON I dan II terhadap PEMOHON ternyata telah dilakukan tanpa memperlihatkan Surat Tugas pada saat itu, dan tidak memberikan Surat Perintah Penangkapan dan / atau serta tembusan Surat Perintah Penangkapan tersebut tidak diberikan kepada Keluarga PEMOHON, karena itu tindakan TERMOHON tersebut telah melanggar Ketentuan :
1)Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab-Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Pasal 18 ayat (1) KUHAP :
Pelaksanaan tugas penangkapan. dilakukan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka Surat Perintah Penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.
Pasal 18 ayat (3) KUHAP :
Tembusan Surat Perintah Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan. ( Sampai saat ini keluarga atau kuasa hukum pemohon belum mendapatkannya).
2)Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan Dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap No. 12 Tahun 2009)
Pasal 70 ayat (2) Perkap No. 12 Tahun 2009 :
Setiap tindakan penangkapan wajib dilengkapi Surat Perintah Tugas dan Surat Perintah Penangkapan yang sah dan dikeluarkan oleh atasan penyidik yang berwenang.
Pasal 72 Perkap No. 12 Tahun 2009 :
Tindakan penangkapan terhadap tersangka dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut :
a)Tersangka telah dipanggil 2 (dua) kali berturut-turut tidak hadir tanpa alasan yang patut dan wajar; ( Pemohon baru satu kali dipanggil ).
b)Tersangka diperkirakan akan melarikan diri;
c)tersangka diperkirakan akan mengulangi perbuatannya;
d)Tersangka diperkirakan akan menghilangkan barang bukti;
e)Tersangka diperkirakan mempersulit penyidikan.
Pasal 75 huruf a Perkap No. 12 Tahun 2009 :
Dalam hal melaksanakan tindakan penangkapan, setiap petugas wajib : a. Memahami peraturan perundang-undangan, terutama mengenai kewenangan dan tata cara untuk melakukan penangkapan serta batasan-batasan kewenangan tersebut.
Pasal 75 huruf c Perkap No. 12 Tahun 2009 :
Dalam hal melaksanakan tindakan penangkapan, setiap petugas wajib : c. Menerapkan prosedur-prosedur yang harus dipatuhi untuk tindakan persiapan, pelaksanaan dan tindakan sesudah penangkapan.
3)Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia : Setiap orang berhak atas pegakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.
Pasal 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia :
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia : Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum
Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia : Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4)Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan Dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap No. 12 Tahun 2009)
Pasal 75 huruf d Perkap No. 12 Tahun 2009 :
Dalam hal melaksanakan tindakan penangkapan, setiap petugas wajib bersikap profesional dalam menerapkan taktis penangkapan, sehingga bertindak manusiawi, menyangkut waktu yang tepat dalam melakukan penangkapan, cara-cara penangkapan terkait dengan kategori-kategori yang ditangkap seperti anak-anak, orang dewasa dan orang tua atau golongan laki-laki dan perempuan serta kaum rentan.
Pasal 76 ayat (1) huruf b Perkap No. 12 Tahun 2009 :
Dalam hal melaksanakan penangkapan, petugas wajib mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : b. Senantiasa menghargai/menghormati hak-hak tersangka yang ditangkap…
Pasal 76 ayat (1) huruf c Perkap No. 12 Tahun 2009 :
Dalam hal melaksanakan penangkapan, petugas wajib mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : c. Tindakan penangkapan bukan merupakan penghukuman bagi tersangka.
Pasal 76 ayat (2) Perkap No. 12 Tahun 2009 :
Tersangka yang telah tertangkap, tetap diperlakukan sebagai orang belum tentu bersalah sampai terbukti bersalah di pengadilan.
Pasal 75 ayat (3) huruf f KUHAP :
Berita acara tersebut selain ditandatangani oleh pejabat tersebut pada ayat (2) ditandatangani pula oleh semua pihak yang terlibat dalam tindakan tersebut pada ayat
1)Bahwa karena TERMOHON tidak melaksanakan prosedur-prosedur sesuai dengan Ketentuan Perundang-Undangan, maka tindakan TERMOHON menunjukkan ketidakpatuhan akan hukum, padahal TERMOHON sebagai aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia in casu dalam kualitas sebagai PENYIDIK seharusnya memberikan contoh kepada warga masyarakat, dalam hal ini PEMOHON dalam hal pelaksanaan hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) KUHAP sebagai berikut :
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab-Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Pasal 7 ayat (3) KUHAP :
Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), Penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.
2)Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.
3)Bahwa perlu Pemohon tegaskan sekali lagi Tindakan Termohon tersebut sangat bertentangan dengan prinsip KUHAP yang kita pedomi bersama selaku penegak hukum, kalau KUHAP saja kita tidak paham bagaimana dengan Perkap No 6 2019 tentang Penyidikan yang diadopsi Penyidik atau penyidik pembantu dikepolisian,adapun pelanggaran prosedur hukum acara yang dilanggar oleh Termohon II pada saat Dimulainya Penyidikan berdasarkan Perkap No 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana adalah sebagai berikut :
Pasal 13
1.Penyidikan dilakukan dengan dasar:
a.Laporan Polisi; dan
b.Surat Perintah Penyidikan.
2.Surat Perintah Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, paling sedikit memuat:
a.dasar penyidikan;
b.identitas tim penyidik;
c.perkara yang dilakukan penyidikan;
d.waktu dimulainya penyidikan; dan
e.identitas Penyidik selaku pejabat pemberi perintah.
3.Setelah Surat Perintah Penyidikan diterbitkan, dibuat SPDP.Pasal 14
A.SPDP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dikirimkan kepada penuntut umum, pelapor/korban, dan terlapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan.
B.SPDP paling sedikit memuat:
a.dasar penyidikan berupa laporan polisi dan Surat Perintah Penyidikan;
b.waktu dimulainya penyidikan;
c.jenis perkara, pasal yang dipersangkakan dan uraian singkat tindak pidana yang disidik;
d.identitas tersangka; dan
e.identitas pejabat yang menandatangani SPDP.
Identitas tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, tidak perlu dicantumkan dalam SPDP, bila Penyidik belum dapat menetapkan tersangka.
4.Dalam hal Tersangka ditetapkan setelah lebih dari 7 (tujuh) hari diterbitkan Surat Perintah Penyidikan, dikirimkan surat pemberitahuan penetapan tersangka dengan dilampirkan SPDP sebelumnya.
5.Apabila Penyidik belum menyerahkan berkas perkara dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kepada Jaksa Penuntut Umum, Penyidik wajib memberitahukan perkembangan perkara dengan melampirkan SPDP.
Pasal 15
1.Sebelum melakukan penyidikan, Penyidik wajib membuat rencana penyidikan yang diajukan kepada atasan Penyidik secara berjenjang.
2.Rencana penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat:
a.jumlah dan identitas Penyidik;
b.objek, sasaran dan target penyidikan;
c.kegiatan dan metode yang akan dilakukan dalam penyidikan;
d.karakteristik dan anatomi perkara yang akan disidik;
e.waktu yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan penyidikan;
f.sarana dan prasarana yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan penyidikan;
g.kebutuhan anggaran penyidikan; dan
h.kelengkapan administrasi penyidikan.
Upaya Paksa Pasal 16
1.Upaya paksa meliputi:
a.pemanggilan;
2.Pemanggilan terhadap Tersangka/Saksi/Ahli dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan undangan.
Pasal 23
1.Pemeriksaan dilakukan oleh Penyidik dan/atau Penyidik Pembantu terhadap saksi, ahli, dan Tersangka yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh Penyidik dan/atau Penyidik Pembantu yang melakukan pemeriksaan dan orang yang diperiksa.
2.Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertujuan untuk mendapatkan alat bukti dalam proses penyidikan mendapatkan keterangan saksi, ahli dan tersangka yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan.
3.Kesimpulan dari pasal yang diatur pada perkap No 6 Tahun 2019 sebagaimana yang telah dilakukan oleh Termohon 1 adalah tindakan yang menyimpang dari aturan khusus yang dijadikan acuan untuk melakukan penyidikan guna mendapatkan bukti yang cukup, ( kalau aturan umum saja sebagaimana diatur dalam KUHAP tidak diterapkan ( tidka paham )  bagaimana mungkin aturan khusus seperti perkap, Perkaba, perpol Nomer 2 tahun 2022 Termohon dapat memahami dan menjalankannya, karena ini menyangkut Hak atau status hukum Pemohon, maka berdarkan kesimpulan dari pasal diatas dapat dinyatakan tindakan para Termohon I dan II telah melakukan penyimpangan dalam hukum acara pidana.
Bahwa dalam perkembangannya PRAPERADILAN telah menjadi fungsi kontrol Pengadilan terhadap jalannya Peradilan sejak tahap penyelidikan khususnya dalam hal ini yang berkaitan dengan penangkapan, sehingga oleh karenanya tindakan tersebut patut dikontrol oleh Pengadilan dengan menyatakan bahwa Penangkapan oleh para TERMOHON I dan II kepada PEMOHON adalah TIDAK SAH SECARA HUKUM KARENA MELANGGAR KETENTUAN KUHAP. Dengan demikian, jika seandainya menolak GUGATAN PRAPERADILAN a-quo, penolakan itu sama saja dengan MELEGITIMASI PENANGKAPAN,PENETAPAN TERSANGKA TERHADAP PEMOHON DAN PENAHANAN  YANG DILAKUKAN TERMOHON KEPADA PEMOHON DAN MELEGITIMASI PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG DILAKUKAN PARA TERMOHON I dan II KEPADA PEMOHON;
•PERMINTAAN GANTI KERUGIAN DAN / ATAU REHABILITASI
1)Bahwa tindakan PENANGKAPAN, PENAHANAN,  YANG TIDAK SAH SECARA HUKUM oleh TERMOHON I dan II terhadap PEMOHON telah mengakibatkan kerugian bagi PEMOHON;
2)Bahwa mengingat PEMOHON adalah seorang pelajar Yang sedang menimbah ilmu untuk masa depannya dan berharap bisa mendapatkan pekerjaan yang layak setelah selesai menempuh pendidikan, maka SANGAT WAJAR dan BERALASAN untuk diberikan kompensasi dan/atau ganti rugi bagi PEMOHON;
3)Bahwa ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana mengatur, sebagai berikut :
Pasal 9 ayat (1) :
Ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf (b) dan Pasal 95 KUHAP adalah berupa imbalan serendah-rendahnya Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) dan setinggi-tingginya Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah).
Pasal 9 ayat (2) :
Apabila penangkapan, penahanan dan tindakan lain sebagaimana dimaksud Pasal 95 KUHAP mengakibatkan yang bersangkutan sakit atau cacat sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan atau mati, besarnya ganti kerugian berjumlah setinggi-tingginya Rp. 3.000.000,-(tiga juta rupiah).
Merujuk pada pasal tersebut di atas dimana fakta membuktikan bahwa akibat penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP, maka nilai kerugian yang seharusnya dibayarkan kepada PEMOHON adalah sebesar Rp. 5.000,000- ( Lima Juta rupiah);
4)Bahwa disamping kerugian Materiil, PEMOHON juga menderita kerugian Immateriil, berupa :
i.Bahwa akibat penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah oleh TERMOHON, menyebabkan tercemarnya nama baik PEMOHON, hilangnya kebebasan, menimbulkan dampak psikologis terhadap PEMOHON dan keluarga PEMOHON, dan telah menimbulkan kerugian immateril yang tidak dapat dinilai dengan uang, sehingga di batasi dengan jumlah sebesar Rp. 100,000,000 ,- ( Seratus Juta Rupiah);
ii.Bahwa kerugian Immateriil tersebut di atas selain dapat dinilai dalam bentuk uang, juga adalah wajar dan sebanding dalam penggantian kerugian Immateriil ini dikompensasikan dalam bentuk TERMOHON meminta Maaf secara terbuka pada PEMOHON lewat Media Massa di Pos Kupang dan media masa online Yanga da disumba selama 2 (dua) hari berturut-turut.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, mohon Ketua Pengadilan Negeri Waingapu agar segera mengadakan Sidang Praperadilan terhadap para TERMOHON tersebut sesuai dengan hak-hak PEMOHON sebagaimana diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 serta Pasal 95 KUHAP, dan mohon kepada Yth. Ketua Pengadilan Negeri Waingapu Cq. Hakim Tunggal Yang Memeriksa Permohonan ini berkenan memeriksa dan memutuskan sebagai berikut :
1.Menerima dan mengabulkan Permohonan PEMOHON untuk seluruhnya ;
2.Menyatakan hukum Penyidikan Perkara Pidana yang dilakukan oleh para Termohon I dan II “ SETIAP ORANG DENGAN SENGAJA MELAKUKAN TIPU MUSLIHAT, SERANGKAIAN KEBOHONGAN ATAU MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN DENGANNYA ATAU DENGAN ORANG LAIN “ yang dilaksanakan oleh Termohon II sebagaimana diatur didalam pasal 81 ayat (2) Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan PERPU No.1 Tahun 2016 Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak adalah tidak sah,oleh karenanya penyidikan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan oleh karena itu diperintahkan kepada Termohon I untuk menghentikan Penyidikan sebagaimana Laporan Polisi LP/03/III/2023/NTT/Res.ST/Sek.Rindi,Polres Sumba Timur pada tanggal 4 Maret 2023.
3.Menyatakan menurut Hukum tindakan para Termohon I dan II menetapkan Pemohon sebagai tersangka sebagaimana dimaksud dalam pasal 81 ayat (2) Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan PERPU No.1 Tahun 2016 Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagaimana Laporan Polisi Nomor : LP/03/III/2023/NTT/Res.ST/Sek.Rindi,Polres Sumba Timur tertanggal 4 Maret 2023 adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan mengikat.
4.Menyatakan Hukum tindakan penangkapan yang dilakukan oleh para Termohon I dan II dengan  : Sp-Kap/18/II/2023/Reskrim tanggal 27 Maret 2023 , adalah Tidak Sah oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
5.Memerintahkan kepada TERMOHON agar segera mengeluarkan/membebaskan PEMOHON atas nama Fernandus Tamu Ama;
6.Menghukum para TERMOHON untuk membayar ganti Kerugian Materiil sebesar Rp. 5.000,000,00 ( Lima Juta rupiah) dan Kerugian Immateriil sebesar Rp 100.000.000,00,- ( Seratus Juta rupiah), sehingga total kerugian seluruhnya sebesar Rp 105.000.000,00-( Seratus Lima Juta rupiah) secara tunai dan sekaligus kepada PEMOHON ;
7.Menghukum dan/atau Memerintahkan kepada Termohon I dan II untuk merehabilitasi atau memulihkan hak-hak kedudukan, harkat dan martabat serta nama baik Pemohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka oleh para Termohon pada tahap penyidikan.
8.Menghukum para TERMOHON I dan II  untuk meminta Maaf secara terbuka kepada PEMOHON lewat Media Massa di Kupang ( Pos Kupang ) dan media masa online yang ada disumba selama 2 (dua) hari berturut-turut ;
9.Memulihkan hak-hak PEMOHON, baik dalam kedudukan, kemampuan harkat serta martabatnya.
ATAU,
10.Jika Yang Mulia hakim Tunggal yang memeriksa dan mengadili perkara aquo berpendapat lain, mohon Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

 

Pihak Dipublikasikan Ya